Ketika DPR RI Harus Dibubarkan: Refleksi atas Demokrasi yang Dikhianati
Oleh: SBS Valid
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) adalah lembaga legislatif yang memegang peranan vital dalam sistem demokrasi Indonesia. Fungsi utamanya meliputi legislasi, penganggaran, dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Dalam sistem presidensial yang dianut Indonesia, DPR adalah simbol dari kedaulatan rakyat yang disalurkan melalui wakil-wakil yang mereka pilih secara langsung dalam pemilu. Namun, bagaimana jika lembaga yang seharusnya menjadi representasi rakyat ini justru kehilangan legitimasinya? Dalam skenario ekstrem, mungkinkah sampai pada titik di mana DPR RI harus dibubarkan?
Akar Ketidakpercayaan Publik
Isu pembubaran DPR RI bukanlah gagasan yang muncul tiba-tiba tanpa dasar. Dalam beberapa tahun terakhir, kepercayaan publik terhadap DPR terus merosot. Survei dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa DPR sering kali dianggap tidak efektif, koruptif, dan lebih mengutamakan kepentingan politik ketimbang aspirasi rakyat. Rakyat merasa diabaikan, khususnya ketika DPR meloloskan undang-undang kontroversial seperti UU Cipta Kerja, UU KPK, atau revisi UU KUHP, yang disahkan meski mendapat penolakan luas dari masyarakat sipil.
Selain itu, banyak anggota DPR yang terjerat kasus korupsi. Praktik politik transaksional, lobi kepentingan oligarki, serta minimnya transparansi membuat DPR tampak seperti lembaga yang kehilangan arah dan orientasi. Ketika rakyat melihat bahwa aspirasi mereka tidak lagi diwakili, dan fungsi pengawasan mandul, maka pertanyaan ekstrem pun muncul: apakah lembaga ini masih layak dipertahankan?
Konstitusi dan Batas Pembubaran Lembaga Negara
Secara konstitusional, pembubaran DPR RI bukanlah proses yang sederhana. UUD 1945 tidak memberikan kewenangan kepada presiden atau lembaga mana pun untuk membubarkan DPR. Ini berbeda dengan sistem parlementer, di mana parlemen bisa dibubarkan untuk kemudian diadakan pemilu ulang. Dalam sistem presidensial Indonesia, DPR adalah lembaga permanen selama masa jabatan lima tahunnya, kecuali jika terjadi perubahan konstitusi.
Namun demikian, sejarah mencatat bahwa gagasan membubarkan DPR bukan tanpa preseden. Pada masa Orde Lama, Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dan menggantikannya dengan DPR-GR (Gotong Royong) yang lebih sesuai dengan visi politiknya. Meski hal ini dilakukan dalam konteks darurat politik, langkah tersebut tetap kontroversial dan memperlihatkan potensi manipulasi lembaga legislatif demi kepentingan kekuasaan.
Ketika DPR Gagal Menjalankan Fungsinya
Pembubaran DPR bisa menjadi wacana serius apabila lembaga tersebut secara konsisten gagal menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Gagal dalam konteks ini bukan semata karena produk hukum yang tidak populer, tapi karena proses demokrasi di dalamnya telah rusak: ketika korupsi merajalela, ketika suara rakyat dibungkam, ketika legislatif menjadi stempel kekuasaan eksekutif, dan ketika parlemen kehilangan independensinya.
Misalnya, jika seluruh sistem di DPR didominasi oleh kekuatan politik yang mengabdi kepada kepentingan oligarki ekonomi, dan tidak lagi ada oposisi yang kuat, maka mekanisme check and balance runtuh. Dalam kondisi semacam ini, DPR tidak lagi menjadi alat kontrol kekuasaan, tapi justru menjadi bagian dari mesin kekuasaan itu sendiri. Ketika itu terjadi, DPR bukan hanya tidak berguna, melainkan berbahaya bagi demokrasi.
Alternatif: Reformasi Total atau Sistem Baru
Daripada membubarkan DPR RI secara total dan permanen, pendekatan yang lebih realistis dan konstitusional adalah reformasi total kelembagaan. Ini bisa dimulai dari perubahan sistem pemilu yang lebih adil, pembatasan biaya kampanye yang mencegah politik uang, serta pembentukan badan pengawasan legislatif independen.
Selain itu, ide membentuk majelis rakyat yang lebih partisipatif kadang muncul sebagai alternatif. Dalam sistem ini, representasi tidak hanya berasal dari partai politik, tetapi juga dari unsur masyarakat sipil, akademisi, buruh, petani, dan kelompok adat. Model semacam ini lebih inklusif dan bisa mencegah dominasi elite politik.
Sebagai refleksi lebih jauh, ada pula yang mengusulkan sistem demokrasi langsung berbasis digital, di mana keputusan penting diserahkan langsung kepada rakyat melalui mekanisme e-voting atau referendum, sementara lembaga legislatif menjadi fasilitator, bukan penentu tunggal.
Risiko Membubarkan DPR RI
Meski gagasan pembubaran DPR tampak sebagai “jalan keluar” dari kebuntuan politik, langkah tersebut penuh risiko. Tanpa lembaga legislatif yang sah, pemerintahan bisa masuk ke dalam situasi vacuum of power. Presiden tidak bisa membuat atau mengubah undang-undang, tidak ada kontrol terhadap kekuasaan eksekutif, dan hukum kehilangan legitimasi formal.
Selain itu, pembubaran DPR bisa menjadi preseden buruk yang dimanfaatkan oleh rezim otoriter untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Demokrasi bisa mati pelan-pelan, dimulai dari absennya representasi rakyat secara legal dan politik. Oleh karena itu, wacana pembubaran DPR harus ditanggapi dengan hati-hati, dan lebih baik dijadikan momentum untuk menuntut perbaikan mendasar, bukan destruksi total.
Peran Masyarakat Sipil
Perubahan yang dibutuhkan sebenarnya tidak hanya terletak pada DPR, tetapi juga pada partisipasi aktif masyarakat sipil. Rakyat harus menyadari kekuatan suaranya dalam pemilu, serta pentingnya mengawasi dan menekan wakil-wakil mereka di parlemen. Lembaga seperti DPR hanya akan berubah ketika rakyat berhenti diam dan menuntut pertanggungjawaban yang nyata.
Demokrasi sejati bukan hanya soal memilih, tapi soal mengawal kekuasaan. Ketika rakyat bersatu, menyuarakan aspirasi secara kolektif dan konsisten, maka DPR tidak akan berani semena-mena. Bahkan jika tidak dibubarkan, DPR bisa “dibangunkan” dari tidur panjangnya oleh tekanan rakyat.
Penutup: Demokrasi yang Harus Diselamatkan
DPR RI adalah salah satu pilar utama demokrasi Indonesia. Namun, ketika pilar ini mulai retak karena korupsi, ketidakpedulian, dan hilangnya legitimasi, maka rakyat berhak mempertanyakan keberadaannya. Seruan untuk membubarkan DPR bukan sekadar ekspresi kemarahan, tapi refleksi dari kekecewaan yang mendalam terhadap sistem yang gagal mewakili kepentingan rakyat.
Namun demikian, solusi terbaik bukan terletak pada pembubaran yang radikal, melainkan pada reformasi yang menyeluruh dan berkelanjutan. Kita harus membangun kembali kepercayaan terhadap lembaga perwakilan, dengan memastikan bahwa hanya orang-orang yang benar-benar amanah, kompeten, dan berpihak pada rakyatlah yang duduk di kursi kekuasaan.
Jika tidak, maka bukan hanya DPR yang kehilangan makna, tetapi seluruh sistem demokrasi kita bisa runtuh dari dalam. Dan ketika itu terjadi, kita mungkin tidak lagi punya kemewahan untuk memperbaiki — hanya bisa menyesali.
Comments
Post a Comment